Sabtu, 20 Juli 2013

Tentang Dalil-Dalil

Dalil Dalil Syariah yang Diakui Negara


Negara, sebagaimana individu, merupakan subyek hukum syariah. Negara harus menetapkan metode tertentu dalam mengadopsi hukum syariah. Bagi negara, mengadopsi hukum ada yang wajib dan ada yang mubah. Jika adopsi hukum ini terjadi di atas dua metode yang berbeda, maka akan terdapat pertentangan terkait asas yang di atasnya adopsi itu dilakukan.
Ada tiga alasan mengapa negara harus menetapkan metode tertentu dalam mengadopsi hukum-hukum syariah.Pertama: hukum yang wajib dijalankan adalah hukum syariah, bukan hukum akal; yakni hukum Allah, bukan hukum buatan manusia. Karena itu, dalil yang darinya digali hukum harus bersumber dari wahyu. Kedua: penetapan bahwa dalil yang darinya digali hukum itu benar-benar bersumber dari wahyu, harus dengan qath’i (definitif/pasti), sebab ini termasuk bagian dari akidah, sementara akidah tidak boleh diambil kecuali dari sesuatu yang memberi keyakinan. Ketiga: jika tidak ada ketegasan bahwa dasar pengambilan hukum itu harus benar-benar bersumber dari wahyu, dikhawatirkan akan muncul di tengah-tengah umat pemikiran yang tidak islami, karena digali dari sumber yang tidak berasal dari wahyu. Oleh karena itu, harus ada penegasan bahwa dalil-dalil yang darinya digali hukum-hukum yang akan diterapkan oleh negara adalah dalil-dalil yang benar-benar bersumber dari wahyu.
Telaah atas Rancangan UUD (Masyrû’ Dustûr) Daulah Islamiyah kali ini akan membahas pasal 12 tentang dalil-dalil yariah yang diakui negara, yang berbunyi: “Al-Kitab (Al-Quran), as-Sunnah, Ijmak Shahabat dan Qiyas adalah dalil-dalil syariah yang diakui.” (An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 48).
Dalil-dalil Syariah yang Diakui
Dalil, menurut pengertian bahasa, adalah sesuatu yang menunjukan pada sesuatu yang kongkrit (hissi) atau yang abstrak (maknawi). Menurut ulama fikih, dalil adalah sesuatu yang di dalamnya terdapat petunjuk. Menurut ulama ushul, dalil adalah sesuatu yang dengan penelaahan yang sahih bisa menghantarkan pada pengetahuan atas mathlûb khabari(hukum suatu perkara yang sedang dicari status hukumnya), atau sesuatu yang dijadikan hujjah bahwa perkara yang dibahas adalah hukum syariah (Az-Zain, Ilmu Ushûlil Fiqh al-Muyassar, hlm. 297).
Adapun dalil-dalil hukum syariah yang diakui oleh negara dan telah memenuhui kualifikasi qath’i, pasti bersumber dari wahyu, ada empat: Al-Quran, as-Sunnah, Ijmak Sahabat dan Qiyas.
1. Al-Quran.
Al-Quran adalah kalam (firman) Allah yang berupa mukjizat, yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw. dengan bahasa Arab, terdapat di antara dua ujung mushaf, disampaikan secara mutawatir, membacanya adalah ibadah, dimulai dengan surat al-Fatihah dan ditutup dengan surat an-Nas (An-Nikmah, Ulûmul Qur’ân, hlm. 8).
Dalil bahwa al-Quran berasal dari wahyu Allah SWT, baik redaksi maupun maknanya, merupakan dalil yang qath’i (pasti). Kemukjizatan al-Quran juga menjadi dalil yang qath’i bahwa al-Quran merupakan kalam (firman) Allah, bukan perkataan manusia. Al-Quran yang merupakan kalam (firman) Allah itu dengan pasti menyebutkan, bahwa wahyu telah diturunkan kepada Rasulullah saw. (Lihat: QS al-An’am [6]: 19; QS al-Anbiya’ [21]: 45). Dua ayat ini dan yang lainnya merupakan dalil-dalil yang qath’i bahwa al-Quran disampaikan melalui wahyu yang berasal dari Allah SWT (An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 50). Dengan demikian, al-Quran merupakan dalil syariah yang ditetapkan berdasarkan dalil-dalil yang qath’i.
2. As-Sunnah.
As-Sunnah dan al-Hadis pengertiannya sama, yaitu perkataan, perbuatan dan ketetapan yang datang dari Rasulullah saw. (An-Nabhani, Asy-Syakhshiyah al-Islamiyah, I/178).
Kedudukan as-Sunnah sebagai dalil yang qath’i—yang merupakan dalil yang dibawa oleh wahyu, yang maknanya dari Allah SWT, sementara redaksinya dari Rasulullah saw.—telah disebutkan dengan tegas dan jelas di dalam beberapa ayat al-Quran. Allah SWT berfirman:
وَمَا يَنْطِقُ عَنِ الْهَوَى * إِنْ هُوَ إِلا وَحْيٌ يُوحَى
Tiadalah yang diucapkannya itu (al-Quran) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya) (QS an-Najm [53] : 3-4).
قُلْ إِنَّمَا أَتَّبِعُ مَا يُوحَى إِلَيَّ مِنْ رَبِّي
Katakanlah, “Sesungguhnya aku hanya mengikut apa yang diwahyukan dari Tuhanku kepadaku.” (QS al-A’raf [7]: 203).
وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ
Apa yang Rasul berikan kepada kalian, terimalah. Apa yang dia larang atas kalian, tinggalkanlah. Bertakwalah kalian kepada Allah. Sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-Nya (QS al-Hasyr [59]: 7).
Ayat-ayat ini dan yang lainnya menunjukkan dengan tegas dan jelas bahwa as-Sunnah yang diucapkan Rasulullah saw. tidak lain adalah wahyu dari Allah SWT. Dengan tegas dan jelas pula Allah SWT telah memerintahkan kita agar menaati apa saja yang Rasulullah perintahkan, dan menjauhi apa yang beliau larang. Dalil bahwa as-Sunnah datang melalui wahyu adalah dalil yang qath’i. Oleh karena itu, kedudukan as-Sunnah sebagai dalil ditetapkan berdasarkan nash yang qath’i ats-tsubut qath’i ad-dilalah, yakni sumber dan maknanya pasti (An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 50).
3. Ijmak Sahabat.
Ijmak Shahabat adalah kesepakatan para Sahabat tentang hukum suatu perkara, bahwa hukum tersebut merupakan hukum syariah (An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 52).
Arti Ijmak Sahabat ini bukan berarti kesepakatan atas pendapat pribadi Sahabat, melainkan kesepakatan atas hukum tertentu bahwa ia merupakan hukum syariah. Sebab, pendapat Sahabat bukan wahyu, dan masing-masing mereka tidakma’shum (terpelihara) dari kesalahan. Kesepakatan mereka atas hukum suatu perkara menunjukkan bahwa mereka mengetahui dalil, lalu mereka bersepakat atas hukum tersebut, tetapi dalil hukum itu tidak mereka riwayatkan Dengan kata lain, bahwa mereka tidak akan bersepakat kecuali atas perkara yang ada nashnya (Abu Zahra, Ushûl al-Fiqh, hlm. 198).
Adapun dalil yang membuktikan bahwa Ijmak Sahabat merupakan dalil hukum syariah yang qath’i, bersumber dari wahyu, adalah: Pertama, Allah SWT telah memuji mereka di dalam al-Quran dengan nash yang qath’i ats-tsubut qath’i ad-dilâlah, yakni sumber dan maknanya pasti (Lihat: QS at-Taubah [9]: 100).
Pujian Allah ini ditujukan kepada semua Sahabat. Karena itu, hukum yang disepakati oleh mereka yang mendapat pujian dari Allah ini pasti benar. Sebab, mustahil mereka sepakat atas sesuatu yang salah, karena hal itu bertentangan dengan pujian Allah kepada mereka.
Kedua: Sahabat adalah orang yang menjadi tempat kita mengambil agama ini. Merekalah yang menyampaikan al-Quran kepada kita. Allah SWT telah berjanji untuk menjaga al-Quran (QS al-Hijr [15]: 9). Sahabat adalah orang yang membawanya kepada kita. Dengan demikian, janji Allah itu juga menunjukkan jaminan-Nya kepada orang yang membawanya, yaitu para Sahabat. Selain itu, mustahil mereka yang membawa agama dan al-Quran kepada kita sepakat melakukan kesalahan dan kedustaan, karena secara logika hal ini mustahil terjadi. Sebab, jika terjadi, maka hal itu bertentangan dengan jaminan Allah melalui dalil yang qath’i. Dengan demikian, Ijmak Sahabat merupakan dalil yangqath’i (An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 51).
Karena itu, hanya Ijmak Sahabat saja yang dapat dijadikan sebagai hujjah. Imam Dawud berkata:
الإِجْمَاعُ إِنَّمَا هُوَ إِجْمَاعُ الصَّحَابَةِ فَقَطْ
Ijmak (yang diakui) tidak lain hanyalah Ijmak Sahabat saja (Asy-Syaukani, Irsyâdul Fukhûl, hlm. 53).
Bahkan Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullâh mengatakan:
مَنِ ادَّعَى اْلإِجْمَاعَ فَهُوَ كَاذِبٌ
Siapa saja yang mengklaim ada ijmak (setelah masa Sahabat) maka ia berdusta. (Al-Jauziyah, A’lâm al-Muwaqqi’în, I/498).
4. Qiyas.
Qiyas adalah menyertakan suatu perkara terhadap yang lainnya dalam hukum syariah karena terdapat kesamaan ‘illat(pendorong adanya hukum syariah) di antara keduanya (Abu Rusytah, Taysîr al-Wushûl ila al-Ushûl Dirâsât fi Ushûl al-Fiqh, hlm. 85).
Dalil yang qath’i yang menunjukkan bahwa qiyas adalah hujjah dalam menentukan hukum berangkat dari tempat yang menjadikan qiyas sebagai dalil syariah, dalam hal ini tidak lain adalah nash itu sendiri yang menjadi rujukan qiyas. Sebab,‘illat dalam qiyas tidak diambil kecuali apabila syariah telah menunjukkannya. Dengan demikian, menganggap qiyassebagai dalil syariah merupakan suatu keharusan.
Qiyas pada hakikatnya kembali pada nash itu sendiri. Oleh karena itu, qiyas dikatakan dengan ma’qul an-nash (nash yang rasional). Atas dasar ini, qiyas ini dalilnya adalah nash itu sendiri yang mengandung ‘illat, yakni penyebab timbulnya hukum. Jadi, apabila dalil ‘illat adalah al-Quran maka dalil qiyas ini juga al-Quran. Apabila dalil ‘illat adalah as-Sunnah maka dalil qiyas ini juga adalah as-Sunnah. Apabila dalil ‘illat adalah Ijmak Sahabat maka dalil qiyas ini adalah juga Ijmak Sahabat. Dengan demikian, dalil qiyas adalah dalil yang qath’i, sama dengan dalil-dalil al-Quran, as-Sunnah, dan Ijmak Sahabat. (An-Nabhani, Asy-Syakhshiyah al-Islamiyah, III/320).
Dalil-dalil Lain
Adapun dalil-dalil yang lain—seperti Ijmak kaum Muslim, mazhab Sahabat, istihsanmashalih mursalah, dan lainnya—maka tidak dianggap sebagai hujjah dalam menetapkan hukum syariah. Semua itu merupakan sesuatu yang disangka dalil, padahal sebenarnya bukan dalil. Sebab, semua itu datang dengan sesuatu yang menunjukkannya sebagai dalil, namun dengan jalan yang zhann (dugaan), bukan jalan yang qath’ (pasti).
Hanya saja, berdalil dengan dalil-dalil ini, termasuk dalam syubhah ad-dalil (dalil yang masih diperselisihkan), dianggap berdalil dengan dalil syariah. Meski bagi yang tidak menganggapnya sebagai dalil, itu tidak termasuk hukum syariah, namun dalam pandangannya itu merupakan hukum syariah, karena masih ada syubhah ad-dalil (An-Nabhani,Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 76).
Karena itu, negara tidak boleh melarang, apalagi menghukum jika ada warga negaranya yang melakukan amalan berdasarkan dalil-dalil dari selain keempat dalil di atas, selama tidak bertentangan dengan hukum syariah yang telah diadopsi negara, sebab amalan itu termasuk dalam syubhah ad-dalil.
WalLâhu a’lam bi ash-shawâb[]

Teladan Hidup

Kisah Nyata :
... "BI, KALAU UMMI MENINGGAL, .. APA ABI AKAN MENDOAKAN UMMI ..??" ...

Bismillahir-Rahmaanir-Rahim ....


Usia istri Yaqin masih sangat muda, sekitar 19 tahun. Sedangkan usia Yaqin waktu itu sekitar 23 tahun. Tetapi mereka sudah berkomitmen untuk menikah.

Istrinya Yaqin cantik, putih, murah senyum dan tutur katanya halus. Tetapi kecantikannya tertutup sangat rapi. Dia juga hafal Al-Qur’an di usia yang relatif sangat muda , Subhanallah …

Sejak awal menikah, ketika memasuki bulan kedelapan di usia pernikahan mereka, istrinya sering muntah-muntah dan pusing silih berganti … Awalnya mereka mengira “morning sickness” karena waktu itu istrinya hamil muda.

Akan tetapi, selama hamil bahkan setelah melahirkanpun istrinya masih sering pusing dan muntah-muntah. Ternyata itu akibat dari penyakit ginjal yang dideritanya.

Satu bulan terakhir ini, ternyata penyakit yang diderita istrinya semakin parah..

Yaqin bilang, kalau istrinya harus menjalani rawat inap akibat sakit yang dideritanya. Dia juga menyampaikan bahwa kondisi istrinya semakin kurus, bahkan berat badannya hanya 27 KG. Karena harus cuci darah setiap 2 hari sekali dengan biaya jutaan rupiah untuk sekali cuci darah.

Namun Yaqin tak peduli berapapun biayanya, yang terpenting istrinya bisa sembuh.

Pertengahan bulan Ramadhan, mereka masih di rumah sakit. Karena, selain penyakit ginjal, istrinya juga mengidap kolesterol. Setelah kolesterolnya diobati, Alhamdulillah sembuh. Namun, penyakit lain muncul yaitu jantung. Diobati lagi, sembuh… Ternyata ada masalah dengan paru-parunya. Diobati lagi, Alhamdulillah sembuh.

Suatu ketika , Istrinya sempat merasakan ada yang aneh dengan matanya. “Bi, ada apa dengan pandangan Ummi?? Ummi tidak dapat melihat dengan jelas.” Mereka memang saling memanggil dengan “Ummy” dan ” Abi” . sebagai panggilan mesra. “kenapa Mi?” Yaqin agak panik “Semua terlihat kabur.” Dalam waktu yang hampir bersamaan, darah tinggi juga menghampiri dirinya… Subhanallah, sungguh dia sangat sabar walau banyak penyakit dideritanya …

Selang beberapa hari, Alhamdulillah istri Yaqin sudah membaik dan diperbolehkan pulang.

Memasuki akhir Ramadhan, tiba-tiba saja istrinya merasakan sakit yang luar biasa di bagian perutnya, sangat sakiiit. Sampai-sampai dia tidak kuat lagi untuk melangkah dan hanya tergeletak di paving depan rumahnya.

“Bi, tolong antarkan Ummi ke rumah sakit ya ..” pintanya sambil memegang perutnya …

Yaqin mengeluh karena ada tugas kantor yang harus diserahkan esok harinya sesuai deadline. Akhirnya Yaqin mengalah. Tidak tega rasanya melihat penderitaan yang dialami istrinya selama ini.

Sampai di rumah sakit, ternyata dokter mengharuskan untuk rawat inap lagi. Tanpa pikir panjang Yaqin langsung mengiyakan permintaan dokter.

“Bi, Ummi ingin sekali baca Al-Qur’an, tapi penglihatan Ummi masih kabur. Ummi takut hafalan Ummi hilang.”

“Orang sakit itu berat penderitaannya Bi. Disamping menahan sakit, dia juga akan selalu digoda oleh syaitan. Syaitan akan berusaha sekuat tenaga agar orang yang sakit melupakan Allah. Makanya Ummi ingin sekali baca Al-Qur’an agar selalu ingat Allah.

Yaqin menginstal ayat-ayat Al-Qur’an ke dalam sebuah handphone. Dia terharu melihat istrinya senang dan bisa mengulang hafalannya lagi, bahkan sampai tertidur. Dan itu dilakukan setiap hari.

“Bi, tadi malam Ummi mimpi. Ummi duduk disebuah telaga, lalu ada yang memberi Ummi minum. Rasanya enaaak sekali, dan tak pernah Ummi rasakan minuman seenak itu. Sampai sekarangpun, nikmatnya minuman itu masih Ummi rasakan”

“Itu tandanya Ummi akan segera sembuh.” Yaqin menghibur dirinya sendiri, karena terus terang dia sangat takut kehilangan istri yang sangat dicintainya itu.

Yaqin mencoba menghibur istrinya. “Mi… Ummi mau tak belikan baju baru ya?? Mau tak belikan dua atau tiga?? Buat dipakai lebaran.”


“Nggak usah, Bi. Ummi nggak ikut lebaran kok” jawabnya singkat. Yaqin mengira istrinya marah karena sudah hampir lebaran kok baru nawarin baju sekarang.

“Mi, maaf. Bukannya Abi nggak mau belikan baju. Tapi Ummi tahu sendiri kan, dari kemarin-kemarin Abi sibuk merawat Ummi.”

“Ummi nggak marah kok, Bi. Cuma Ummi nggak ikut lebaran. Nggak apa-apa kok Bi.”

”Oh iya Mi, Abi beli obat untuk Ummi dulu ya…??” Setelah cukup lama dalam antrian yang lumayan panjang, tiba-tiba dia ingin menjenguk istrinya yang terbaring sendirian. Langsung dia menuju ruangan istrinya tanpa menghiraukan obat yang sudah dibelinya.

Tapi betapa terkejutnya dia ketika kembali . Banyak perawat dan dokter yang mengelilingi istrinya.

“Ada apa dengan istriku??.” tanyanya setengah membentak. “Ini pak, infusnya tidak bisa masuk meskipun sudah saya coba berkali-kali.” jawab perawat yang mengurusnya.

Akhirnya, tidak ada cara lain selain memasukkan infus lewat salah satu kakinya. Alat bantu pernafasanpun langsung dipasang di mulutnya.


Setelah perawat-perawat itu pergi, Yaqin melihat air mata mengalir dari mata istrinya yang terbaring lemah tak berdaya, tanpa terdengar satu patah katapun dari bibirnya.


“Bi, kalau Ummi meninggal, apa Abi akan mendoakan Ummi?” “Pasti Mi… Pasti Abi mendoakan yang terbaik untuk Ummi.” Hatinya seakan berkecamuk. “Doanya yang banyak ya Bi” “Pasti Ummi” “Jaga dan rawat anak kita dengan baik.”

Tiba-tiba tubuh istrinya mulai lemah, semakin lama semakin lemah. Yaqin membisikkan sesuatu di telinganya, membimbing istrinya menyebut nama Allah.


Lalu dia lihat kaki istrinya bergerak lemah, lalu berhenti. Lalu perut istrinya bergerak, lalu berhenti. Kemudian dadanya bergerak, lalu berhenti. Lehernya bergerak, lalu berhenti. Kemudian matanya….

Dia peluk tubuh istrinya, dia mencoba untuk tetap tegar. Tapi beberapa menit kemudian air matanya tak mampu ia bendung lagi…


Setelah itu, Yaqin langsung menyerahkan semua urusan jenazah istrinya ke perawat. Karena dia sibuk mengurus administrasi dan ambulan. Waktu itu dia hanya sendiri, kedua orang tuanya pulang karena sudah beberapa hari meninggalkan cucunya di rumah. Setelah semuanya selesai, dia kembali ke kamar menemui perawat yang mengurus jenazah istrinya.

“Pak, ini jenazah baik.” kata perawat itu. Dengan penasaran dia balik bertanya. “Dari mana ibu tahu???” “Tadi kami semua bingung siapa yang memakai minyak wangi di ruangan ini?? Setelah kami cari-cari ternyata bau wangi itu berasal dari jenazah istri bapak ini.” “Subhanallah…”

Tahukah sahabatku,… Apa yang dialami oleh istri Yaqin saat itu? Tahukah sahabatku, dengan siapa ia berhadapan? Kejadian ini mengingatkan pada suatu hadits

“Sesungguhnya bila seorang yang beriman hendak meninggal dunia dan memasuki kehidupan akhirat, ia didatangi oleh segerombol malaikat dari langit. Wajah mereka putih bercahaya bak matahari. Mereka membawa kain kafan dan wewangian dari surga. Selanjutnya mereka akan duduk sejauh mata memandang dari orang tersebut.


Pada saat itulah Malaikat Maut ‘alaihissalam menghampirinya dan duduk didekat kepalanya. Setibanya Malaikat Maut, ia segera berkata: “Wahai jiwa yang baik, bergegas keluarlah dari ragamu menuju kepada ampunan dan keridhaan Allah”.

Segera ruh orang mukmin itu keluar dengan begitu mudah dengan mengalir bagaikan air yang mengalir dari mulut guci. Begitu ruhnya telah keluar, segera Malaikat maut menyambutnya.

Dan bila ruhnya telah berada di tangan Malaikat Maut, para malaikat yang telah terlebih dahulu duduk sejauh mata memandang tidak membiarkanya sekejappun berada di tangan Malaikat Maut.

Para malaikat segera mengambil ruh orang mukmin itu dan membungkusnya dengan kain kafan dan wewangian yang telah mereka bawa dari surga.

Dari wewangian ini akan tercium semerbak bau harum, bagaikan bau minyak misik yang paling harum yang belum pernah ada di dunia. Selanjutnya para malaikat akan membawa ruhnya itu naik ke langit.


Tidaklah para malaikat itu melintasi segerombolan malaikat lainnya, melainkan mereka akan bertanya: “Ruh siapakah ini, begitu harum.” Malaikat pembawa ruh itupun menjawab: Ini adalah arwah Fulan bin Fulan (disebut dengan namanya yang terbaik yang dahulu semasa hidup di dunia ia pernah dipanggil dengannya).” (HR Imam Ahmad, dan Ibnu Majah)


“Sungguh sangat singkat kebersamaan kami di dunia ini , akan tetapi sangat banyak bekal yang dia bawa pulang. Biarlah dia bahagia di sana” Air matapun tak terasa mengalir deras dari pipi Yaqin. Oleh: Ummu Farah (Siti Fauziah Fauzi)


Semoga bermanfaat bagi yang membacanya .....
 —